Saturday, November 17, 2012

ANIMATION INDUSTRY

ANIMATION INDUSTRY


Siapa yang tidak kenal Po, si panda gendut yang jago kung fu, ikan badut bernama Nemo, atau koboi Woody? Mereka adalah tokoh utama dalam film-film animasi yang sukses masuk di box office dengan penghasilan yang tidak sedikit. Kung Fu Panda 2 (2011) misalnya, berhasil memperoleh pendapatan US$ 663 juta dengan hanya mengeluarkan modal US$ 150 miliar. Sementara Lion King (1994), hanya dengan modal US$ 79 juta berhasil meraup laba sampai 1.108% atau US$ 945 juta. 
Delapan film animasi terlaris tersebut berhasil mencatatkan keuntungan minimal US$ 400 juta atau Rp3,6 triliun. Bisa disimpulkan bahwa animasi adalah tambang emas yang menguntungkan. Namun memang prinsip ‘mancing uang pakai uang’ berlaku di industri ini. Lumrah saja mengingat biaya untuk memproduksi sebuah karya animasi yang berkualitas memang tinggi.
 
Kreanimator Inggris dan salah satu pendiri studio Blue Zoo, Tom Box, pernah mengatakan bahwa biaya pembuatan film animasi kelas menengah bisa mencapai US$ 3 ribu per menit, sedangkan untuk yang berkualitas tinggi bisa mencapai US$ 10 ribu per menit. Oleh sebab itu film animasi berbiaya besar hanya bisa diproduksi oleh studio besar saja. 
Hingga 2010, hanya studio besar seperti Warner Bros Animation, 20th Centrury Fox Animation, Nickelodeon (Paramount Picture), Pixar dan Marvel Studio (Walt Disney) yang bisa menyediakan film animasi berbiaya tinggi tersebut. Seperti kebanyakan industri kreatif lainnya, industri animasi juga tidak terpengaruh terhadap krisis keuangan dunia. Semua studio mencatatkan keuntungan meskipun keadaan kondisi perekonomian AS tengah dalam krisis moneter. Penghasilan Disney bahkan naik 30 persen pada 2011 ini.
 
Tidak sedikit negara yang merasakan keuntungan yang sama dari industri animasi ini. Soalnya, animasi tidak selalu mengenai soal film, tetapi juga serial televisi, komik, merchandise, iklan televisi, industri konten, mobile, dan sebagainya, dan perlu dicatat bahwa hampir semuanya bisa menambah pundi-pundi yang lumayan.
 
Jepang merupakan pionir industrialis animasi khususnya manga (komik) dan anime (serial kartun) yang masing-
masing sudah mencatatkan penghasilan Â¥12 miliar dan Â¥20 miliar pada 2005. Serial televisi seperti Doraemon dan anime seperti Naruto sudah dieskpor ke puluhan negara, ditonton dan dibaca jutaan anak-anak di seluruh dunia. TOEI Animation adalah studio animasi terbesar di Jepang yang membuat serial terkenal seperti Sailormoon hingga One Piece. 
 

Pemerintah Jepang membeli lisensi anime dari penerbit dan mendistribusikan ke negara-negara berkembang dengan harga relatif murah agar bisa ditayangkan. Harga jual per episode Doraemon bisa mencapai US$ 400, suatu harga yang bisa dibeli televisi di hampir semua negara berkembang.  
Pemerintah Korea Selatan juga tidak mau ketinggalan dari Jepang soal animasi. Bertekad menjadi negara superior baru dalam hal budaya di Asia, Korea Selatan mengubah beberapa peraturan untuk mempercepat pertumbuhan industri animasi di negaranya.

Salah satunya lewat UU Penyiaran yang memberi pembatasan jam tayang animasi dari luar Korea hingga tinggal 60 persen saja. Hal ini dilakukan untuk mencegah invasi animasi Jepang ke Korea. Pemerintah juga memberikan inkubasi, pendanaan, dan peminjaman bersuku bunga rendah bagi para animator yang baru tumbuh. Penerimaan dari sektor animasi Korea mencapai US$418,6 juta, US$89,6 juta di antaranya merupakan penerimaan hasil ekspor.
  
Malaysia pun segera bersiap menghadapi era animasi ini. Lewat Kebijakan Film Nasional yang dicanangkan 2005 lalu, industri animasi Malaysia pelan-pelan tumbuh. Para pemain yang dinilai memiliki potensi diberikan pendanaan dan bagi televisi yang mau memberikan slot untuk animasi lokal diberi insentif. Pemerintah juga membangun Multimedia Development Coorporation yang akan membantu sisi teknologi animasi lokal. Hasilnya, serial animasi Malaysia sudah diekspor ke Jordan, Taiwan, Inggris, Prancis, China, hingga Arab Saudi.

Dimana Animator Indonesia?
Animator Indonesia lebih banyak berkecimpung dalam dunia periklanan sehingga publik tidak mengenali karya animasi dalam negeri. Ketua Asosiasi Industri Animasi dan Konten Indonesia (AINAKI) Adrian Elkana mengatakan, film dan serial animasi lokal sangatlah sedikit karena harga produksi yang mahal.  Lagipula, belum tentu ada stasiun televisi atau penyelenggara perfilman yang mau membayar sebesar itu. 
“Harga yang mampu dibayar televisi maksimal $1.000 per episode dengan durasi 24 menit untuk serial animasi. Padahal uang sebesar itu tidak bisa menutupi biaya produksi. Tentu mereka (pihak televisi) lebih memilih animasi luar yang harganya hanya $400 per episode,” ujar Adrian yang juga pemilik Castle Studio ini.
 
Menurut Adrian, serial animasi luar negeri bisa murah karena area distribusinya yang sudah luas. Sedangkan di Indonesia hanya ada 11 stasiun televisi nasional dan 2 penyelenggara bioskop, maka harga tidak bisa ditekan serendah itu. “Maka itu jangan jadikan televisi sebagai tempat akhir dari karya animasi. Anggap saja televisi sebagai mitra pemasaran untuk merchandise atau bisnis animasi yang lain,” katanya.
 
Meskipun demikian, Adrian sadar terpaan televisi bisa membuat suatu produk animasi terkenal. “Lihat saja Doraemon yang punya stok episode yang banyak, setiap minggu bisa diputar. Upin&Ipin dan Spongebob juga selalu diulang meskipun stok episodenya sedikit, tapi lihat betapa terkenalnya mereka. Itu karena frekuensi penayangannya sering.” 
 
Soal kualitas pemain, Adrian mengatakan animator Indonesia cukup baik. “Untuk desain grafis kita sudah masuk kelas A, tetapi untuk animasi kita masih masuk kelas B,” ucapnya. Istilah ‘kelas’ yang dimaksud Adrian adalah kualitas animasi yang menentukan harga jual sebuah produk. Kelas A sudah tingkat internasional sehingga dapat dijual US$130 ribu ke atas per episode. Sedangkan kelas B US$ 50 ribu dan kelas C US$ 25 ribu.
 
“Di Indonesia belum ada standardisasi semacam ini, sehingga AINAKI saat ini sedang menyusun standardisasi bisnis animasi di Indonesia untuk para pelaku industri. Kami akan memperjuangkan harga standar yang pantas,” imbuh Adrian.
 
Keadaan industri animasi Indonesia yang masih merangkak ini membuat hanya sedikit pemain lokal yang tetap bertahan. Di AINAKI saja, jumlah anggotanya hanya 16 studio. Diperkirakan total 30 studio animasi yang masih aktif di Indonesia. Konsentrasi terbesar ada di daerah Jabodetabek dengan 17 studio, disusul Yogyakarta dan Bandung. Daerah lain seperti Padang, Denpasar, Gorontalo, Batam dan Malang tercatat hanya satu studio.
 
Hambatan lain selain distribusi produk adalah dukungan pemerintah yang minim, tidak seperti dukungan negara- negara yang sudah disebutkan sebelumnya dan Adrian menyadari hal itu. “Saya tidak berharap banyak pada pemerintah. Kami tidak minta dana. Tolong beri kami one- single policy,” ujar Adrian.
 
Adrian berharap pemerintah Indonesia mau mengikuti langkah pemerintah China. Pemerintah China membuat peraturan baru pada 2008 bahwa stasiun televisi wajib menayangkan animasi lokal di jam tayang utama, dari jam 17.00 hingga 20.00. Alasan utamanya mungkin sama dengan kasus di Korea Selatan. China ingin memperkecil infiltrasi budaya di luar China, terutama animasi Amerika, sebab bagaimanapun animasi adalah cara efektif menumbuhkan rasa cinta tanah air pada anak-anak.
 
Animasi lokal China langsung tumbuh pesat. Tak hanya lewat peraturan baru, tetapi pemerintah juga memberikan insentif kepada animator lokal. Insentif diberikan oleh pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Jadi jika ada produk animasi dari animator daerah yang dianggap bagus ditampilkan di televisi nasional maka akan diberi dua kali insentif. Satu peraturan ini tidak hanya menambah jumlah produk lokal tetapi juga adanya sumber penyerapan tenaga kerja baru.
 
Lalu bagaimana agar bisa tumbuh selama ‘menunggu’ kebijakan pemerintah yang belum memahami superioritas industri animasi? “Ada tiga hal. Pertama jangan malu jadi tukang untuk negara orang karena di sana ada proses pembelajaran yang berharga. Setelah dirasa cukup masuk ke tahap kedua dimana pemain harus berani co-production dengan luar. Ini akan menguntungkan kedua belah pihak karena kita butuh proyek dan mereka butuh tenaga kerja yang lebih murah. Ketiga dan yang paling sulit, berani 100% modal sendiri untuk mewujudkan produk animasi.”

No comments:

Post a Comment